Sebuah tempat makan populer yang tidak punya nomor telepon.
Aneh? Ternyata tidak bagi sebuah warung dengan nama yang juga aneh. Nama
resminya adalah Steak Hotel by Holycow. Di mana hotelnya? Tidak ada juga! Lho,
gimana, sih?
Penamaan Steak Hotel semata-mata karena pemiliknya ingin
menampilkan steak dalam kualitas penyajian seperti yang umumnya dapat diperoleh
di hotel-hotel berbintang. Sajian utama Holycow yang membuatnya kondang adalah
wagyu (wa = Jepang, gyu = sapi) yang terkenal karena super-lembut dan
super-empuk.
Tempat ini baru buka pukul 18.30. Tetapi, para pelanggannya
sudah berdatangan sejak senja untuk mendapat tempat duduk atau nomor antrean.
Suatu malam, ketika tiba di sana pukul 19, mereka masih menunggu di antrean
sudah mencapai nomor 40-an. Sekitar 30 tamu dari batch pertama sedang
"sibuk" menikmati sajian daging bakar yang sungguh menggoyang lidah.
Agak sulit menilai steak sajian Holycow ini secara objektif.
Pertama, kita harus sepenuhnya menyadari bahwa "apel" tidak boleh
dibandingkan dengan "jeruk". Dengan prinsip ini, wagyu steak seharga
Rp 95 ribu di Holycow (ribeye, 200 gram) tidak boleh disejajarkan dengan wagyu
steak di restoran papan atas yang dibandrol Rp 500 ribu. Kedua, perlu juga ada
apresiasi terhadap usaha menampilkan makanan berkualitas dengan harga
terjangkau. Artinya, upaya Holycow untuk menghadirkan wagyu steak kepada
masyarakat kalangan menengah sudah pasti akan meningkatkan apresiasi masyarakat
terhadap kuliner bermutu.
Menurut saya, dari sisi kesan pertama ketika menggigit wagyu
steak Holycow, pastilah akan muncul kejutan langsung: mak nyuss! Dagingnya
sungguh empuk dan lembut. Tingkat kematangannya juga bagus. Artinya, wagyu
steak medium yang saya pesan, benar-benar hadir dengan kematangan medium.
Diperlukan keahlian untuk menghadirkan kualitas konsisten seperti ini. Di sisi
lain, agaknya kita pun perlu lebih mendidik sendiri untuk mengetahui standar
kematangan mulai dari medium-rare, medium, medium-well, dan well-done.
Setelah gigitan pertama yang memberi kejutan menyenangkan,
pada gigitan kedua, mau tak mau saya mulai menyadari bahwa dagingnya terlalu
banyak dibubuhi garam ketika dibakar. Saya selalu menyukai steak yang dibakar
tanpa garam sama sekali. Biarlah tamu membubuhi garam dan lada sesuai
kesukaannya.
Saus barbeque-nya harus diacungi jempol. Tetapi, sayangnya,
saus jamurnya agak mengecewakan. Warna maupun citarasanya tidak mengikuti
standar mushroom sauce yang baik.
Selain wagyu steak, bagi mereka yang lebih menyukai
"the real steak", bisa memesan New Zealand ribeye (Rp 47 ribu),
Australian sirloin (Rp 45 ribu), atau Australian tenderloin (Rp 55 ribu).
Dengan harga yang hanya setengah dari wagyu ribeye, New Zealand ribeye di
Holycow sungguh value for money.
Apakah saya akan singgah lagi ke Steak Hotel? So pasti!
Tetapi, berbekal pengalaman pertama ke sana, sudah barang tentu saya akan
secara khusus minta agar steak-nya tidak dibubuhi garam, dan pasti pula saya
akan minta saus barbeque atau mencoba blackpepper sauce-nya – kecuali
sudah ada perbaikan pada saus jamur-nya. Mudah-mudahan saya tidak dicap sebagai
tamu yang rewel.
Steak Hotel
by Holycow
Jl. Radio Dalam 15
Jakarta Selatan
Steak Hotel
by Holycow
Jl. Radio Dalam 15
Jakarta Selatan
No comments:
Post a Comment